NURCHOLISH MADJID

Tokoh Cendikiawan Muslim


Nurcholish Madjid adalah seorang putra kelahiran Mojoanyer, Jombang, Jawa Timur, tanggal 17 Maret 1939 Masehi. Bertepatan dengan 26 Muharram 1358 Hijriyah. Dia dilahirkan dari kalangan keluarga pesantren. Ayahnya adalah K.H Abdul Madjid, seorang kyai jebolan pasentren Tebuireng, Jombang, yang didirikan oleh pendiri Nahdatul Ulama (NU) Hadaratus Syaikh Hasyim Asy’ari, yang mana beliau adalah salah seorang diantara Faunding Father Nahdatul Ulama. Sementara ibunya adalah adik dari Rais Akbar NU dari ayah seorang aktivis Syarikat Dagang Islam (SDI) di Kediri yang bernama Hajjah Fathonah Mardiyyah.[1]

Nurcholish Madjid lahir sebagai anak sulung dari empat bersaudara. Panggilan Nucholish Madjid yang terkenal adalah panggilan Cak Nur. Keseharian beliau adalah apabila pagi beliau belajar di sekolah rakyat, sorenya ia mengaji di Madrasah al-Whathaniyyah, pimpinan ayah kandungnya sendiri. Ayahnya kebetulan mempunyai koleksi buku yang terbilang lengkap, sehingga Nurcholish Madjid saat kecil daripada bermain lebih baik membaca kitab-kitab yang dimiliki ayahnya.[2]

Nurcholish Madjid meninggal pada tanggal 29 agustus 2005 dalam usia 66 tahun. Ia adalah salah satu dari pemikir Islam terbaik Indonesia yang telah mengontribusi pemikiran-pemikiran keislaman kontemporer, khususnya dalam apa yang ia sebut pada tahun 1990 sebagai mempersiapkan umat Islam Indonesia memasuki zaman modern.

Pendidikan dasar Nurcholish Madjid ditempuh didua sekolah tingkat dasar, yaitu pada sore hari di Madrasah al-Wathaniyah yang dikelola oleh orangtuanya sendiri dan pada pagi harinya Nurcholish Madjid mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) di Mojoanyar, Jombang.

Kemudian Nurcholish Madjid melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kota yang sama. Jadi, sejak di tingkat pendidikan dasar, Nurcholish Madjid telah mengenal dua model pendidikan. Pertama, pendidikan dengan pola madrasah yang sarat dengan penggunaan kitab-kitab kuning sebagai bahan rujukannya. Kedua, Nurcholish Madjid juga memperoleh pendidikan umum secara memadai, sekaligus berkenalan dengan metode pengajaran modern. Pada masa pendidikan dasar inilah, khususnya di Madrasah al-Wathaniyah Nurcholish Madjid sudah menampakkan kecerdasannya dengan berkali-kali menerima penghargaan atas prestasinya.[3]

Dengan basis pengetahuan agama dan kemampuan untuk menguasi kitab kuning pada tahun 1995, Nurcholish Madjid akhirnya melanjutkan pendidikan ke Kulliyyat al-Mu’allim al-Islamiyyah (KMI) di pondok pesantren Darussalam, pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur dan lulus pada tahun 1960.

Menurut kebiasaan yang normal jenjang pendidikan yang harus dilalui oleh santri adalah selama tujuh tahun. Namun karena otaknya yang cemerlang dan cerdas Nurcholish Madjid berhasil menjadi salah satu santri terbaik dengan meraih juara kelas sehingga dari satu ia bisa meloncat ke kelas tiga, dan mampu merampungkan pendidikannya di Gontor lebih kurang lima tahun. Menurut pengakuan Nurcholish Madjid, di pesantren inilah beliau mendapatkan pengalaman pendidikan keagamaan yang sangat menentukan dan memberikan warna terhadap perkembangan pemikiran keagamaannya.[4]

Melihat kecerdasan dan otaknya yang cermerlang rupanya tidak disia- siakan oleh pimpinan pesantren Gontor, K.H Zarkasyi. ini dibuktikan oleh keinginan K.H Zarkasyi untuk mengirimkan Nurcholish Madjid ke Universitas al- Azhar, Kairo, setelah menamatkan studinya di Gontor. Tetapi karena di Mesir pada saat itu tengah terjadi krisis terusan Suez yang cukup kontroversial, keberangkatan Nurcholish Madjid tertunda. Maka sambil menunggu keberangkatannya ke Mesir, beliau memanfaatkan untuk mengajar di Gontor selama satu tahun. Namun waktu yang ditunggu-tunggu untuk berangkat ke Mesir tidak kunjung tiba.

Akhirnya terbetik berita bahwa kala itu Mesir sulit memperoleh visa, sehingga tidak memungkinkan Nurcholish Madjid melanjutkan studi ke al-Azhar, Kairo. Tetapi K.H Zarkasyi bisa menghibur dan tidak kehilangan akal. Lalu ia mengirimkan surat ke IAIN Jakarta dan meminta agar murid kesayangannya itu bisa diterima di Lembaga Tinggi Islam yang bergengsi itu. Berkat bantuan salah seorang alumni Gontor yang berada di IAIN Syarif Hidayatullah, kemudian Nurcholish Madjid diterima sebagai mahasiswa tanpa menggendong ijazah Negeri.[5]

Di IAIN Syarif Hidayatullah beliau memilih jurusan yang sangat relevan dengan latar belakang pendidikan yang telah diterimanya. Ia mengambil Fakultas Adab jurusan Sastra Arab dan Sejarah Pemikiran Islam. Nurcholish Madjid berhasil menyelesaikan program sarjana lengkapnya pada tahun 1968, dengan menulis skripsi: Al-Qur’an, “Arabiyyan Lughatan Wa ‘Alamiyyan Ma’nan”, yang maksudnya adalah “Al-Qur’an dilihat secara bahasa bersifat lokal dan dilihat secara istilah bersifat global“ (ditulis dengan menggunakan bahasa Arab).[6]

Pada saat menjadi mahasiswa itu pulalah Nurcholish Madjid berkenalan dengan organisasi yang dari sana nanti ia mengguncang pemikiran Islam di tanah air dan disitu pula gebrakan pemikiran Islam di langit intelektul Indonesia dimulai. Sesuai dengan pribadinya yang suka bereskplorasi, Nurcholish Madjid berjodoh dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), organisasi yang dibesarkan sekaligus membesarkannya. Di HMI beliau sangat aktif sehingga setiap jenjang organisasi dilalui dengan penuh semangat, mulai dari komisariat lalu menjadi ketua umum HMI Cabang Jakarta hingga akhirnya berhasil menjadi ketua umum PB HMI.

Pada saat menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam, Nurcholish Madjid telah menyusun sebuah buku materi perkaderan tentang keislaman yang berjudul Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang kemudian diubah menjadi Nilai Identitas Kader (NIK). Buku ini menjadi bacaan wajib yang menjadi dasar dan motivasi perjuangan anggota Himpunan Mahasiswa Islam.[7]

Selesai menjabat ketua umum PB HMI yang kedua pada tahun 1971 Ia lebih banyak menulis untuk mengaktualisasikan pemikiran-pemikiran selama di HMI. Setamat dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nurcholish Madjid bekerja sebagai dosen di almamaternya, mulai tahun 1985, ia ditugaskan memberikan kuliah tentang filsafat di Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bersamaan dengan itu, ia pernah juga berkesempatan menjadi dosen tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada, pada tahun 1990 didampingi oleh istrinya yang mengikuti program Eisenhower Fellowship.[8]

Sejak Maret 1978 ia memperoleh beasiswa dari Ford Fondation guna melanjutkan ke Universitas Chicago, dan dari sanalah ia meraih gelar Doktor dalam bidang Ilmu Kalam dan Filsafat dengan prediket Summa Cumlaude pada tahun 1984, dengan disertasinya yang berjudul Ibnu Taymiyah On Kalam and Falsafah: A Problem Of Reason and Revealation In Islam (Ibnu Taymiyah tentang Kalam dan Filsafat : Suatu Persoalan Antara Akal dan Wahyu dalam Islam). Selama di Universitas Chicago, pada tahun 1978-1984, secara leluasa Nurcholish madjid bisa berjumpa dengan perpustakan Islam Klasik dan Islam abad pertengahan yang begitu luas dan kaya langsung dibawah montor ilmuan neo-modernis asal Pakistan, Prof. Dr. Fazlur Rahman. Akibatnya pemikiran neo- moderins mulai diserap oleh Nurcholish madjid dan pengertian baru pemikiran dan praktek neo-modernis ini pun tampaknya terus terakmulasi selama ia menempuh pendidikan S3-nya itu.

Dilatarbelakangi aktivitasnya yang sangat intens di HMI, tidak heran kalau pada tahun 1967-1969, Nurcholish Madjid terpilih sebagai presiden PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara). Saat beliau menjabat Presiden PEMIAT, Malaysia berhasil ditarik sebagai salah satu anggota organisasi Islam regional tersebut, dan ketika itu pulalah beliau pertama kalinya berkesempatan pergi keluar negeri, yaitu ke Malaysia.

Pada tahun Oktober 1968, Nurcholish Madjid berangkat ke Amerika Serikat untuk memenuhi undangan State Departemen, dalam rangka mengikuti “Professional Muda dan Tokoh Masyarakat”. Karena Nurcholish Madjid pada dekade ini masih sangat mencurigai dan anti terhadap pemikiran Barat, maka menurut salah seorang pejabat kedutaan besar Amerika Serikat, ia diundang sekedar memperlihatkan apa yang ia benci selama ini.

Kunjungan Nurcholish Madjid yang atas undangan pemerintah Amerika Serikat berlangsung selama lima pekan. Selepas itu, Nurcholish Madjid tidak langsung kembali ke Tanah Air, melainkan singgah dan melanjutkan perjalanan ke Timur Tengah. Seperti diakuinya sendiri, semula Nurcholish Madjid kurang bersemangat diundang ke Amerika Serikat dan lebih ingin ke Timur Tengah. Tetapi akhirnya Nurcholish Madjid ke Timur Tengah selepas dari Amerika Serikat dengan sisa bekal yang ada.[9]

Sepulang dari Amerika dan Timur Tengah, Nurcholish Madjid segera bergegas untuk melanjutkan perjalanan ke Timur Tengah babak kedua. Bedanya pada gelombang yang kedua, Nurcholish Madjid beserta rombongan 10 anggota PB HMI untuk berhaji, atas undangan Menteri Pendidikan Kerajaan Arab Saudi, Syaikh Hasan bin Abdullah Ali Syaikh, sebagai hadiah atas ketertarikan sang menteri terhadap gerakan kemahasiswaan di Indonesia, seperti dipaparkan Nurcholish Madjid pada kunjungan pertamanya. Bersama rombongan haji PB HMI ini, Nurcholish Madjid meneruskan ke Riyadh, Madinah, Mekkah kemudian ke Khartoum untuk berdialog dengan Hassan Turabi dari Umin University. Rombongan ini kemudian melanjutkan perjalanan ke Irak, Mesir, Libanon, dan ke Pakistan.[10]

Selain itu, Nurcholish Majdjid juga sempat meniti karir didunia pers sebagai pemimpin umum majalah member sekaligus pemimpin redaksi majalah forum pada tahun 1971-1974, sambil tetap memberi kuliah di IAIN Ciputat. Bersama-sama temannya di Jakarta, ia memberikan dan memimpin LSIK (Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan) pada tahun 1984-1977. Ia juga berkerja sebagain peneliti pada LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sejak tahun 1978.

Sejak tahun 1986, bersama beberapa tokoh pemikiran lain, ia mendirikan dan langsung memimpin Yayasan Wakaf Paramadina[11] yang menurut pemaparannya merupakan lembaga tempat beliau dan teman-teman dengan bebas dan leluasa mengembangkan wawasan dan fikiran, karena sesuai dengan tujuan awal pendiriannya adalah sebagai gerakan intelektual Islam di Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang berperadaban Pada tahun ini juga, Nurcholish Madjid manjadi salah seorang peserta SSRC (Social Science Research Counci) di New York, Amerika Serikat, sampai pada tahun 1988. Selanjutnya pada tahun 1990 ia bersama istrinya menjadi peserta Eisenhower Fellowship di Philadelphia, Amerika Serikat, yang kemudia pada tahun 1991-1997 telah menjadi anggota dewan pers. Satu tahun setelah itu, yakni pada tahun 1992-1995, Nurcholish Madjid tercatat sebagai salah seorang anggota, Streering Commitie, The Aga Khan Awerd For Architecture. Kemudian pada tahun 1993 ia menjadi anggota KOMNAS HAM (Komite Nasional Hak Asasi Manusia), yang akhirnya juga sebagai anggota Dewan Riset Nasional pada tahun 1994. Pada tahun 1995, Nurcholish Madjid menerima”Hadiah Budaya” dari ICMI Pusat dan sebagai MPR RI.

Kemudian, dorongan lain yang tidak boleh dikesampingkan dalam membuat pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid berwawasan luas adalah pergaulannya dengan Buya Hamka. Kurang lebih 5 tahun Nurcholish Madjid sempat menjalin hubungan yang akrab dengan Buya Hamka, pada saat itu masih menjadi mahasiswa dan tinggal di Masjid Agung al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Dalam kaitan ini, Komaruddin Hidayat mengungkapkan kedekatan dan rasa kagumnya Nurcholish Madjid kepada Buya Hamka. Dalam berbagai forum obrolan maupun dalam perkuliahan di Paramadina, berulangkali Nurcholish Madjid mengemukakan respek dan kekagumannya pada Buya Hamka.[12]



[1] Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 21
[2] Ahmad A. Sofyan dan M. Roychan Madjid, Op. Cit., hlm. 71.
[3] Siti Nadroh, Op. Cit., hlm. 22
[4] Ahmad A. Sofyan dan M. Roychan Madjid, Op. Cit., hlm. 72
[5] Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amin Rais, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), hlm123-124
[6] Siti Nadroh, Op. Cit., hlm. 24
[7] Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 324
[8] Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 324
[9] Anas Urbaningrum, Islamo-Demokrasi Pemikiran Nurcholish Madjid (Jakarta: Republika, 2004), hlm. 37-38
[10] Ibid., hlm. 39-40
[11] Paramadina adalah nama yang diambil dari bahasa Sansekerta (prama) yang berarti utama atau unggul. Sedangkan (dina) diadopsi dari bahasa arab din yang berarti agama. Jadi paramadina agama pertama dan utama.
[12] Komaruddin Hidayat dalam Kata Pengantar, Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban Membangun Makna Relevansi Islam dalam Sejarah, Op. Cit., hlm. vi